Selasa, 11 Disember 2012

Inilah, Wanita Hero di Zaman Rasulullah SAW

Inilah, Wanita Hero di Zaman Rasulullah SAW

ilustrasi
(jurnalberita.com) - Sebenarnya kalo kita mau menggali sejarah, pada zaman Rasulullah SAW pun sudah banyak pahlawan-pahlawan wanita yang terkenal. Seperti halnya jagoan wanita saat ini yang terkenal seperti, Wonder Woman, elastigirl istri Incredible, Cat Women, dan banyak lainnya, sahabat wanita Rasulullah SAW tidak hanya pandai dalam hal membaca Al Qur’an, tapi juga jago dalam hal memainkan pedangnya, memanah, berkuda dan juga jago dalam dunia kedokteran. Selain mengobati para sahabat yang terluka dalam perang, merekapun juga ikut turun dalam medan perang. Bahkan, ada di antara mereka yang terpotong tangannya karena melindungi Rasulullah! Subhanallah.
Siapa saja sih sahabat wanita Rasulullah yng terkenal itu, berikut beberapa diantaranya:
Nusaibah, si Jago Pedang
Rasulullah SAW yang Mulia, berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang wanita mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang Pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah SAW.kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju memutar-mutarkan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalamdalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasehati mereka, “Jangan mengalirkan darah dengan sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah SAW berdiri tanpa perisai. Seorang muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “Berikan perisaimu kepada yang berperang”. Lelaki itu melemparkan perisainya, yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.
Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah SAW. yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah SAW, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah SAW dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”
Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibnu Qumaiah memukulku.”
Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surga!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”
Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.
The Black Rider, Khaulah binti Azur
Ksatria Berkuda Hitam! Itulah sosok Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, diriwayatkan, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Bagai singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwaThe Black Rider, si penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!
Keberanian Khaulah kembali teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Di mana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”
Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh!
Nailah, si Cantik yang Pemberani
Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”. Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”
Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!
Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”
Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Islam Pertama
Sebagai seorang muslim, kita juga mempunyai tokoh yang menjadi pelopor dunia keperawatan Islam. Ia adalah Rufaidah binti Sa’ad, yang merupakan perawat Islam pertama sejak zaman Rasulullah. Rufaidah binti Sa’ad merupakan perawat muslim pertama di zaman Rasulullah SAW. Wanita berhati mulia ini bernama lengkap Rufaidah binti Sa’ad Al Bani Aslam Al Khazraj. Beliau lahir di Yastrib dan tinggal di Madinah. Rufaidah termasuk kaum Anshar, yaitu golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Menurut Prof. Dr. Omar Hasan Kasule, Sr, dalam studi Paper Presented at the 3rd International Nursing Conference “Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st Century” yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998, Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah Islam. Beliau hidup di masa Nabi Muhammad SAW di abad pertama Hijriah/abad ke-8 Sesudah Masehi, dan diilustrasikan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. Rufaidah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain. Dan digambarkan pula memiliki pengalaman klinik yang dapat ditularkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.
Ketika perang Badr, Uhud, Khandaq, dan perang khaibar, Rufaidah menjadi sukarelawan yang merawat sahabat yang terluka akibat perang. Beberapa kelompok wanita dilatihnya untuk menjadi perawat. Dalam perang Khaibar, mereka minta ijin kepada Rasulullah Muhammad SAW, untuk ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat mereka yang terluka, dan Rasulullah SAW mengijinkannya. Ketika damai, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Kemudian berkembang, dan berdirilah Rumah Sakit lapangan yang terkenal saat perang, dan Rasulullah SAW sendiri memerintahkan sahabat yang terluka dirawat olehnya. Tercatat pula dalam sejarah saat perang Ghazwat al Khandaq, Sa’ad bin Ma’adh yang terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga stabil/homeostatis.
Rufaidah memiliki kepribadian luhur dan empati yang memberikan pelayanan keperawatan dengan baik pada para sahabat terluka. Sentuhan sisi kemanusiaan merupakan hal yang sangat penting bagi seorang perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan kemanusiaan (human touch) berjalan seimbang. Rufaidah juga sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia Islam. Beliau juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventif care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan.
Dalam sejarah Islam mencatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah seperti: Ummu Ammara, Aminah binti Qays al Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun.
Dan beberapa wanita muslim yang terkenal sebagai perawat diantaranya, Ku’ayibat, Aminah binti Abi Qays Al Ghifari, Ummu Atiyah Al Ansariyat, Nusaibat binti Ka’ab Al Maziniyat, dan Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.
Ternyata umat muslim juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya. Dan semoga para muslimah dapat mengambil dan meniru teladan dari mereka. (berbagai sumber/jb1)

Sabtu, 1 Disember 2012

:::VLog Pertama::: - Kembalilah Sayang

Salsilah Ahlul Bait - Sayyid Hussien Jamdil Kubro

Salsilah Ahlul Bait -

Sayyid Hussien Jamdil Kubro (1310-1453)


1 Disember 2012 - Sejak berkenalan dengan alam mistik yang aku sendiri tidak pernah berhasrat memilikinya.... Waktu itu aku masih lagi bujang dan muda... Perkara aneh telah berlaku padaku menyebabkan aku terus memburu apakah yang datang kepadaku...

Genap seminggu selepas aku melafazkan taklik kerana berputus asa memujuk agar "isteriku" tidak meninggalkan rumah hanya kerana masing-masing masih belum memahami antara satu sama lain... Dan sebagai amaran untuk dia tidak keluar dari rumah pada waktu itu.... Aku telah dijemput Allah Ta'ala untuk ke suatu tempat yang tidak pernah aku idamkan untuk ziarah.


Suasana Damai Di Makam Jugra



Tempat itu adalah di Makam Sultan Abu Bakar di Jugra, Klang. Subhanallah!!! Aku telah sampai ke sana dan telah lakukan solat sunat sebagai menghormati Almarhum Sultan Selangor yang pertama dan memegang pangkat Sir dari Kerajaan British itu.

Tapi sebelum ke situ aku telah menemui seorang nenek kebayan yang telah mengenaliku dari sumber mistik. Nenek tanya aku tujuan aku ke sana... Jadi bermulalah drama tangis menangis. Tidak aku sangka bahawa aku telah menemui sanak saudara sedarahku di bawah pokok Kabong berhadapan dengan Taman Terlarang Puteri Telaga Tujuh. Sebagai mengambil peluang dan keberkatan, aku telah disyorkan untuk mandi di tepi telaga mata air dari tujuh sumur.

Selepas mandi, aku beredar bersama-sama nenek ke Masjid Kampung Permatang Pasir yang jaraknya hampir 5 km dari tempat aku mandi.


Masjid Kg. Permatang Pasir yang juga Masjid yang selalu dikunjungi Sultan Jugra.

Selesai solat Zuhur, solat sunat taubat dan sujud syukur, nenek mengajakku untuk menziarahi Makam Almarhum Sultan Abu Bakar. Pada masa mula bersolat tadi, suasana bertukar menjadi sangat damai. Hujan renyai mula menitis membasahai bumi bertuah.

Pengalaman ini adalah sebuah ilmu dan ilmu ini perlu dikongsikan dengan sesiapa yang sedang mencari-cari punca kenapa "anda" sentiasa berhadapan dengan masalah.

Sebelum mandi tadi nenek ada menyebut bahawa keturunan aku dari Salsilah Ahlul Bait iaitu Keturunan nabi Muhammad SAW. Keturunan itu membawa kepada Bapa Wali Songo iaitu Sayyid Hussein Jamdil Kubro Yang berkahwin dengan Puteri Lindungan Bulan.

Sesampainya aku di Kuala Lumpur, aku terus mencari pusat mendapatkan wifi percuma bagi melayari sejarah yang telah lama berkubur. Syukur, Allah membuka laluan ku untuk ilmu ni. Nenek telah membuat doa tersebut agar aku dipermudahkan mendapat segala jawapan yang aku inginkan.

Ini adalah kisah benar dan blog ini adalah Diari Diriku Sendiri. Bagi pembaca yang ingin pertikaikan kesahihannya, terpulanglah... tidak perlu nak gaduh-gaduh. Tak nak percaya, cukup setakat di sini... Buang masa sahaja teruskan membaca.

Alhamdulillah, aku telah menemui sebuah blog tentang Khazanah ini... Ikutilah kisah YM Sayyid Hussien Jamdil Al Kubro ini.





Sayyid Jamaluddin Al-Hussein atau Sayyid Hussein Jamadil Kubro[1] adalah salah seorang putera kepada Amir al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad Sayyid (Ahmad Syah Jalal). Beliau adalah seorang 'patriach', induk atau nenek moyang kepada kebanyakan ulama di Nusantara, antaranya para Wali Songo. Beliau mempunyai sebelas orang adik beradik yang cukup terkenal dan tersohor di Patani, Jawa dan Samudera-Pasai[2]. Mereka adalah:

1. Sayyid Jamaludin al-Hussien

2. Sayyid Muhyiddin Syah

3. Sayyid Alaudin Abdullah

4. Sayyid Amir Syah Jallal

5. Sayyid Alwi Kutub Khan

6. Sayyid Hasanudin

7. Sayyid Qadir Binahsan

8. Sayyid Ali Azamat Syihabudin Umar Khan

9. Sayyid Sheikh Mohamad Arifin Syah atau
Tok Kelumpang Al-Jarimi Al-Fatani

10. Sayyid Syeikh Mohamad Saman Syah Al-Fathani
atau Syeikh Thanaudin Al-Fathani atau Dato' Adi Putra[3]

11. Sayyid Nik Al-Fathani

12. Syariff Qamaruddin

13. Sayyid Majduddin

14. Sultan Sulaiman al-Baghdadi[4]


Sekitar pertengahan abad ke 14 Masihi, Sayyid Hussein Jamadil Kubro telah meninggalkan India dengan membawa bersama tiga orang saudaranya iaitu Syarif Qamaruddin, Sayyid Majduddin dan Sayyid Thanauddin[5] untuk mengembangkan dakwah Islamiyyah ke sebelah timur. Mereka menuju ke arah Kesultanan Samudera-Pasai di Sumatera Utara yang telah berkembang menjadi pusat Islam Nusantara menggantikan peranan Baghdad di Iraq yang mengalami kehancuran akibat penyerangan Tatar. Waktu itu Kesultanan Samudera-Pasai berada di bawah pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Malik al-Zahir II (1326-1350) yang masyur itu. Baginda inilah sultan yang mendapat kunjungan dari Ibnu Batuttah pada tahun 1345 dan 1346 Masihi.

Pada masa inilah Kerajaan Samudera-Pasai berada di puncak kecemerlangan dan kegemilangan sehingga menjadi terbilang di seluruh penjuru dunia, sehingga orang-orang Arab dan Eropah sendiri telah menamakan Pulau Sumatera bersempena nama Kesultanan Samudera ini, iaitu Samodra atau Samotra pada lidah Arab dan Sumatera pada lidah bangsa-bangsa Eropah.

Menurut catatan Ustadz Dr Hilmi Bakar al-Mascaty[6] :

“ Rombongan para Sayyid dari Kerajaan Islam Tughlug India ini mendapat sambutan dan penghormatan besar di Kerajaan Islam Pasai, karena mereka adalah para ulama dan maulana yang mengajar Islam. Apalagi Sultan Malik al- Zahir II dan ayahandanya, Sultan Malik al-Zahir I atau nendanya Sultan Malik al-Saleh adalah keturunan dari para Sultan Perlak (Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) dan Raja Jeumpa (Syahir Nawi-Shahriansyah Salman) yang kedua-duanya bertemu pada jalur Imam Jaafar Sadiq, cucu dari Sayyidina Hussein bin Fatimah binti Rasulullah SAW[7]“

“ Itulah sebabnya mengapa rombongan Sayyid Jamaluddin dan Maulana Malik Ibrahim mendapat sambutan dan penghormatan luar biasa oleh Sultan dan para petinggi Kerajaan Samudera-Pasai. Karena memang sebelumnya hubungan antara Kesultanan Samudera-Pasai dengan Kesultanan Delhi, sebagai negeri asal rombongan Sayyid Jamaluddin, sudah terhubung rapat yang dibuktikan dengan adanya ulama besar dari Delhi di Kerajaan Samudera-Pasai iaitu Maulana Amir Daulasa sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah[8]. Mungkin saja kedatangan Sayyid Jamaluddin merupakan sebuah kelanjutan muhibbah antara Pasai dan Delhi.”



“ Maka tidak menghairankan apabila Sayyid Jamaluddin memilih Pasai sebagai tujuannya, kerana kebesaran Pasai sudah menjadi legenda dalam Kesultanan Delhi. Sebagaimana kedudukan Maulana Amir Daulasa pada Kerajaan Pasai, maka tidak diragukan bahwa Sayyid Jamaluddin dengan rombongannya, termasuk Grand Master gerakan Wali Songo di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim, juga mendapat kedudukan terhormat di Kerajaan Pasai. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh utama dan sentral yang mempengaruhi kebijakan Kerajaan Islam Pasai, khususnya pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II, atau penggantinya Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. "

“ Peranan mereka bukan hanya sebagai tokoh agama saja, tapi juga mengurusi masalah-masalah politik internasional, membangun jaringan politik internasional yang menghubungkan antara dunia Arab, Parsi, India, Cina dengan dunia Islam Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Pasai. Di antara fokus mereka adalah mengembangkan kekuasaan Kerajaan Islam Pasai ke seluruh Nusantara agar menjadi patron bagi Kerajaan Islam di seluruh Nusantara. Kerana dengan semakin besarnya kekuasaan dan wilayah Kerajaan Pasai akan mempermudah gerakan Islamisasi Nusantara, termasuk strategi jitu untuk meredam perkembangan Kerajaan Buddha Siam di sebelah barat dan Kerajaan Hindu Majapahit di sebelah timur[9]. “

Bagaimanapun kelicinan pelaksanaan gagasan tersebut dalam Kesultanan Samudera Pasai menemui halangan yang besar apabila berlaku suatu peristiwa di luar jangkaan sejurus kemangkatan Sultan Malik az-Zahir dalam tahun 1350 Masihi. Putera yang menggantikan baginda, iaitu Sultan Zainal Abidin masih terlalu muda, maka tinggallah pemerintahan dalam tangan orang-orang besar kerajaan.

Putera ini kemudian diculik oleh tentera Siam, dengan bantuan hulubalang Pasai yang khianat, kemudian di bawa ke istana Sukhothai. Orang-orang besar Pasai terpaksa datang menyembahkan 'bunga emas' ke negeri Siam, menghadap rajanya mohon diserahkan kembali Sultan Samudera-Pasai yang masih muda itu. Raja Siam mengizinkan dengan syarat Samudera-Pasai terus membayar ufti untuk masa-masa akan datang sebagai tanda takluk bawah kerajaannya, maka terpaksalah dituruti kemahuannya demi keselamatan Sultan Zainal Abidin.

Belum pun pulih daripada peristiwa yang mengejutkan itu, datang pula serangan dari angkatan perang Majapahit. Baik hulubalang Samudera-Pasai mahupun tentera Siam tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan serangan tersebut sehingga menjadi lemah akibat pukulan hebat dari dua kuasa iaitu Kerajaan Buddha Siam dan Kerajaan Hindu Majapahit[10]. Mujurlah kesultanan tersebut masih mampu bertahan dan berfungsi terus sebagai pusat pancaran, rujukan, peradaban serta pendidikan Islam untuk waktu yang lama termasuklah dari Kesultanan Melayu Melaka yang mula tersinar bintangnya bermula akhir abad ke 14 Masihi.

Natijah daripada dua peristiwa yang getir itu, maka pasukan alim-ulama yang gigih merencanakan program-program Islamisasi serta pengluasan politi Islam Nusantara dari markaz mereka dalam Kerajaan Samudera-Pasai terpaksa menukar strategi.

Kebetulan waktu itu telahpun wujud suatu bentuk kerjasama diantara Kesultanan Samudera-Pasai dan Langkasuka (yang berada di bawah pemerintahan Raja Bharubhasa@ Sultan Mahmud). Kerjasama atau kesatuan yang dimaksudkan itu diberikan nama Negeri Chermin.

Raja Bharubhasa yang diislamkan oleh seorang ulama Pasai mempunyai pertalian kekeluargaan dengan al-Marhum Sultan Malik az-Zahir, kerana adinda baginda yang bernama Puteri Chendana adalah permaisuri Sultan Samudera-Pasai yang waraq itu[11]. Dan Raja Bharubhasa sememangnya mendambakan kesinambungan gagasan 'Pamalayu Kartanegara[12]' yang menguasai seluruh Asia Tenggara, lalu mengambil inisiatif mewujudkan empayar Chermin dalam tahun 1339 Masihi yang meliputi utara Semenanjung Tanah Melayu, Champa, Samudera-Pasai dan berpusat di Langkasuka (di Patani)[13].

Raja Bharubhasa telah bergabung dengan Patih Gaja Mada dari kerajaan Majapahit untuk membina empayar besar di Nusantara menggantikan kuasa Srivijaya. Dalam tahun 1357 Masihi, Patih Gajah Mada dan Raja Bharubhasa telah berjaya menewaskan Siam, lalu mengisthtiharkan Kota Jiddah[14] di Kelantan sebagai ibukota empayar Majapahit Barat, sementara kepulauan Jawa menjadi Majapahit Timur.

Mungkin atas sebab inilah Sayyid Hussein Jamadil Kubra dan rakan-rakannya mengambil keputusan mengubah markaz mereka ke Kota Jiddah di Kelantan sekitar tahun 1350an, untuk bergabung dengan penguasa Islam baru yang kuat, iaitu Raja Bharubhasa, ipar kepada Sultan Malik az-Zahir Pasai, demi kesinambungan agenda Islamisasi Nusantara. Maka setelah mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan dakwah, berangkatlah rombongan Sayyid Hussein Jamdil Kubro ke arah barat.

Riwayat tradisional Kelantan menyebut bahawa sebelum sempat mendarat di Semenanjung Tanah Melayu, rombongan Sayyid Hussein Jamadil Kubro telah menghadapi ujian yang besar dari Allah SWT yang mana kapal yang mereka naiki hampir karam di lautan. Dalam keadaan yang getir itu Sayyid Hussein telah memanjatkan doa kepada Allah SWT supaya diselamatkan dan berikrar akan mendirikan sebuah masjid jika terselamat dari bencana karam itu.

Sekonyong-konyong datang bantuan dari Allah SWT dalam bentuk sekawan ikan kekacang yang berpusu-pusu berenang ke bahagian kapal yang mengalami kebocoran lalu menyumbat diri masing-masing pada tempat yang terdapat lubang-lubang air di kapal itu. Dalam masa yang sama, sekawan ikan kekacang yang lain telah menolak kapal itu sehingga selamat mendarat di Kampung Laut di Tumpat, Kelantan. Atas bantuan Allah yang menyelamatkan rombongan Sayyid Hussein dari musibah kapal karam, mereka terus bersujud dan bersolat sunnat dua rakaat sejurus mendarat.

Belum pulih dari kejutan peristiwa yang hampir meragut nyawa rombongan Sayyid Hussein, tiba-tiba mereka dikejutkan sekali lagi dengan satu lagi pertolongan dari Allah SWT apabila muncul seekor tupai putih di hadapan Sayyid Hussein, lalu berlari pantas ke arah serumpun pohon buluh betong tidak berapa jauh dari situ. Tupai putih itu terus memakan umbut pokok buluh betong itu sehingga kenyang sebelum beredar puas.

Seperti kata pepatah orang tua-tua, 'pucuk dicita, ulam mendatang', kebetulan Sayyid Hussein dan saudaranya semua sedang kelaparan dan dahaga yang bersangatan selepas mengalami ujian getir sebelumnya, maka berkeinginanlah mereka untuk mencuba apa yang dimakan oleh tupai putih itu.

Ekoran dari peristiwa ikan kekacang dan rebung buluh betong itu, kononnya Sayyid Hussein Jamadil Kubro telah bersumpah dan mewasiatkan anak-cucunya supaya jangan makan ikan kekacang dan rebung buluh betong bagi mengingati dan memuliakan peristiwa karamah dari Allah SWT tersebut. Sesiapa dari zuriatnya yang melanggar pantang-larang itu, biasanya akan terkena alahan, gatal-gatal atau hilang ingatan.

Susulan daripada peristiwa 'Karam Di Laut' itu, maka sebagai memenuhi ikrarnya, Sayyid Hussein dan saudaranya telah mendirikan Masjid Kampung Laut [15]yang pertama; yang kemudiannya dipindahkan oleh kerajaan ke Nilam Puri, Kota Bharu sehingga sekarang ini.

Sempurna pembinaan Masjid Kampung Laut, rombongan Sayyid Hussein terus belayar mudik ke hulu sungai sehingga sampai ke sebuah bukit yang dipanggil 'Bukit Panau'[16]. Mereka mendaki bukit tersebut sehinggalah sampai ke puncaknya waktu hampir Maghrib, lalu memulakan ritual amal ibadat dan bersuluk sehinggalah pada waktu hampir dinihari. Sekonyong-konyong bumi bergegar, angin bertiup kencang seolah-olah memberi petanda sesuatu yang luarbiasa bakal terjadi lagi.

Dan benarlah tekaan rombongan Sayyid Hussein kerana dengan tiba-tiba malam yang gelap-gelita dan hitam pekat menjadi bercahaya kilau-kemilau. Hal ini mencetuskan kegemparan masyarakat sekitar Bukit Panau, lalu mereka beramai-ramai bergegas mendaki bukit tersebut untuk melihat apa yang berlaku. Belum pulih kejutan penduduk tempatan yang beragama Hindu-Buddha pada siang tadi kerana turut menyaksikan peristiwa luarbiasa yang dialami oleh rombongan Sayyid Hussein Jamadil Kubro (kisah ikan kekacang dan tupai putih), kali ini digemparkan pula dengan kejadian aneh di Bukit Panau yang tiba-tiba bersinar dengan cahaya kilau-kemilau yang begemerlapan.

Dalam keadaan aneh, pelik dan bingung, masyarakat tempatan menjadi lebih tergamam apabila sejurus sampai di puncak Bukit Panau, berlaku satu dentuman yang amat kuat seolah-olah 'petir' yang cahayanya putih berkilau dan memancar terus dari rombongan Sayyid Hussein Jamadil Kubro menuju ke langit dan membentuk suatu imej yang menyerupai tudung saji yang digunakan oleh masyarakat Melayu. Secara spontan terpacul keluar perkataan 'kilat...kilatan' daripada penduduk tempatan sehingga riwayat menyebut dari situlah bermula asal nama Kelantan sampai sekarang ini.

Selepas itu rombongan mubaligh tersebut meneruskan perjalanan sehingga sampailah ke Kota Jiddah, tempat persemayaman Raja Bharubhasa. Kedatangan mereka disambut penuh mesra dan beradat, apatah lagi mereka bukan calang-calang orang, tetapi merupakan waris bangsawan dari Kesultanan Delhi dan pernah menjadi tamu istimewa pula kepada Kesultanan Samudera-Pasai tidak berapa lama sebelumnya.

Justeru hanya beberapa bulan selepas ketibaan rombongan Sayyid Hussein Jamadil Kubro, langsung dinikahkannya dengan kaum keluarga Raja Bharubhasa. Isterinya yang pertama adalah adik perempuan Raja Bharubhasa sendiri yang bernama Puteri Linang Cahaya[17]. Dari perkahwinan ini beliau dikurniakan seorang putera yang bernama Sayyid Barakat Zainal Alam[18] dan seorang puteri yang bernama Siti Aisyah[19].

Pada kira-kira tahun 1355 Masihi Sayyid Hussein berkahwin pula dengan puteri Raja Champa (Sultan Zainol Abidin) yang bernama Puteri Ramawati. Daripada perkahwinan ini maka lahirlah Sayyid Ibrahim Asmoro@Sunnan Nggesik[20] yang tersenarai dalam kumpulan Wali Songo.

Sewaktu umurnya hampir 80 tahun Sayyid Hussein sekali lagi dipertemukan jodoh, kali ini dengan Puteri Selindong Bulan iaitu cucu saudara kepada isterinya yang pertama iaitu Puteri Linang Cahaya. Puteri Selindung Bulan adalah puteri kepada Sultan Baki Syah ibni Raja Bharubhasa[21]. Kemudian Sayyid Hussein telah menukar nama Puteri Selindong Bulan kepada Puteri Syahirah. Daripada perkahwinan ini maka dalam tahun 1366 Masihi lahirlahSayyid Ali Nurul Alam yang kemudiannya nanti menjadi Perdana Menteri Majapahit II di Kelantan bergelar Patih Aria Gajah[22] yang dikaitkan dengan beberapa peristiwa dengan Laksamana Hang Tuah. (Di Patani, Ali Nurul Alam terkenal dengan nama Sultan Qunbul setelah dilantik menjadi sultan di Patani Darussalam).

Pada awal abad ke 15 Masihi Sayyid Jamaluddin atau Sayyid Hussein Jamadil Kubra telah menghantar anaknya Ibrahim Asmoro itu ke Tanah Jawa dangan disertai oleh anak Ibrahim, Maulana Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Maulana Ishaq. Sunan Ampel bertanggungjawab merencanakan pembangunan kerajaan Islam pertama di Jawa, iaitu di Bintoro, Demak dan seterusnya telah memilih salah seorang anak muridnya, Raden Patah sebagai sultan pertama di kerajaan tersebut dengan gelaran Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Dari zuriat Sunan Ampellah lahirnya tiga lagi dari kumpulan Wali Songo, iaitu Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), dan seorang puteri yang kemudiannya berkahwin dengan Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga), seorang wali dari suku Jawa asli yang juga tersenarai sebagai salah seorang dari kumpulan Wali Songo.

Salah seorang putera Maulana Ishaq yang bernama Raden Paku (Sunan Giri) telah membangunkan Giri sebagai gerakan mujahid yang terkemuka dengan menyediakan para mubaligh yang bekerja keras menyatukan kerajaan Pulau Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Maluku di bawah panji-panji Islam.

Maulana Ishaq juga mempunyai seorang puteri bernama Syarifah Siti Maimunah (Siti Rubiah) yang kelak berkahwin dengan Sultanul Ariffin Syeikh Ismail (Pulau Besar, Melaka), sementara puterinya yang seorang lagi iaitu Syarifah Siti Sarah (Syarifah Siti Rodziah) pula berkahwin dengan saudara Syeikh Ismail yang bernama Sayyid Ibrahim[23].

Dari zuriat putera Sayyid Jamaluddin yang bernama Sayyid Ali Nurul Alam pula, lahirlah tiga putera yang sekali lagi menyumbangkan mubaligh-mubaligh mengikut teladan bapa saudara dan sepupu-sepupu mereka. Ketiga putera ini ialah Wan Hussein, Wan Abu Abdullah Umdatuddin@Wan Bo Tri-Tri dan Wan Alimuddin@Wan Demali[24].

Dari sinilah Ali Nurul Alam telah mempeloporkan gelaran Wan pada anak cucu keturunannya. Gelaran Nik dan Long juga adalah diasalkan dari anak cucu putera Nurul Alam dari zuriat Wan Abu Abdullah yang merupakan pengasas Kerajaan Champa dari dinasti ahlul-bait. Beliau juga menjadi moyang bagi keturunan yang mewarisi kerajaan Patani dan Kelantan. Seorang lagi tokoh yang juga tersenarai dalam kumpulan Wali Songo di Tanah Jawa, ialah Syarif Hidayatullah, tetapi lebih terkenal dengan gelaran Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan putera Wan Abu Abdullah dan mengasas kesultanan Banten dan Cirebon.

Putera Ali Nurul Alam yang bernama Wan Hussein pula bertanggungjawab mengasaskan sistem pondok di Patani . Dua orang puteranya, Wan Abu Yusuff (Chai-Ya-Ma-Fou-yan) dan Wan Abd Kadir (Kou Lai) telah berpeluang mewarisi kerajaan Champa dari bapa saudara mereka Wan Bo Tri-Tri. Wan Demali pula dihantar berdakwah ke kawasan Johor Riau (Pulau Bintang).

Dari sini dapatlah disimpulkan bahawa ketiga-tiga putera Ali Nurul Alam ini telah menyumbangkan ramai para mubaligh dan raja-raja yang memerintah di beberapa wilayah Nusantara sebagaimana yang dipelopori dan dibuat oleh kebanyakan kerabat mereka yang lainnya dari keturunan Sayyid Jamaluddin Al-Hussein. Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kemulian kepada cabang ahlul-bait dari titisan zuriat Sayyid Jamaluddin yang telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di beberapa bahagian Nusantara khususnya di Indonesia dan Tanah Melayu.

Sayyid Alwi Thahir al-Haddad dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren (al-Haddad 1403:8-11) ada mencatatkan seperti berikut:

“ Putera Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara- saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara….. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Aceh (Pasai) dan Kamboja, Pattani kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.”

Sayyid Hussein Jamadil Kubro, seorang pendakwah gigih, wali besar dan induk kepada ramai alim-ulama Nusantara ditakdirkan menghadap Illahi di daerah Wajok, Sulawesi Selatan. Tahun kedatangannya ke Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M. Semoga Allah mencucuri rahmatNya ke atas roh tokoh Islam yang besar ini. Al-Fatihah... Ameen ya Rabbal 'alameen.


[1]Nama lainnya ialah Sayyid Akbar dan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar. Di Patani digelar juga dengan 'Abar' atau 'Ibar' yang bermaksud 'terlebih mempunyai kebajikan' atau 'terlebih banyak kebajikan'.


[2]Pendapat lain menyebut adik beradiknya seramai 11 atau 13 orang. Penulis mencatatkan 14 nama di atas hasil kajian daripada beberapa sumber.


[3]Syeikh Thanauddin terkenal sebagai tok guru kepada hulubalang Melaka yang hebat dan tersohor, iaitu Dato' Laksamana Hang Tuah. Beliau mempunyai beberapa gelar lain seperti Sayyid Muhammad Saman, Dato' Adi Putra dan Panglima Hitam.Beliau disebut sebagai ulama pertama yang sampai di Pulau Besar, Melaka, sebelum kedatangan rombongan Sultanul Ariffin Syeikh Ismail yang merupakan cicit kepada Sultanul Awliya’ Syeikh Abdul Qadir Jilani dari titisan Sayyidina Hassan RA.


 [4]Sultan Sulaiman pernah mendirikan sebuah kerajaan di Siam (Thailand), dikenali dengan gelaran al-Baghdadi, kemungkinan kerana pernah tinggal lama di Baghdad. Rujuk KH Ali bin Abdri Azmatkhan, KH Fathul Azhim Khatib Azmatkhan dll, manuskrip IKHAZI, ‘Dari Sebuah Keluarga Untuk Umat (Latar Belakang Pendirian Ikatan Keluarga Azmatkhan al-Husaini Indonesia)


[5]Riwayat lain mencatatkan kedatangan Sayyid Hussein dengan 6 orang adik beradiknya, menjadikan jumlah mereka 7 orang kesemuanya. Maka di Kelantan dan Patani mereka terkenal dengan gelaran 'Wali Tujuh'. dan Sayyid Hussein berperanan sebagai ketua bagi Wali Tujuh ini


[6]Ustadz Dr Hilmy Bakar al-Mascaty,makalah Kerajaan Jeumpa Aceh; Kerajaan Islam Terawal di Aceh, Aceh Institute Organization (internet).


[7]Pakar sejarah Aceh iaitu Sayyid Dahlan bin Abdurahman al-Habsyi telah mempeloporkan suatu teori alternatif kepada salasilah Raja-raja Samudera-Pasai yang menurutnya adalah sebenarnya berasal dari titisan ahlul-bait Rasulullah SAW kerana moyang kepada Raja-raja ini dari Kerajaan Perlak (dari dinasti Johan Berdaulat) yang bernama Syarianshah Salman Farisi dikatakan bernasab kepada Sayyidina Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

 

[8]“Ibnu Batutah juga mencatatkan beberapa pembesar Kesultanan Samudera-Pasai yang merupakan ulama atas angin, iaitu Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajuddin dari Isfahan.

 

[9]Ibid

 

[10]Prof Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997, hlm 705-707

 

[11]Seorang lagi adindanya yang bernama Puteri Linang Cahaya bakal berkahwin dengan Sayyid Hussein Jamdil Kubro. Hj Abdul Halim Bashah, Raja Campa & Dinasti Jembal dalam Patani Besar (Patani, Kelantan, Terengganu), Pustaka Reka, 1994, hlm 34-37

 

[2]Suatu gagasan yang diilhamkan oleh kaum kerabat Raja Bharubhasa yang bernama Kartanegara (Kerajaan Singhasari 1268-1292M, mertua kepada pendiri empayar Majapahit Raden Wijaya), iaitu untuk meluaskan politik di seluruh Nusantara melalui persekutuan negeri-negeri serumpun dalam menghadapi ancaman dari musuh2 luar seperti tentera Mongol (Kublai Khan), Sukothai (Siam) dan Die Viet (Vietnam).

 

[13]Hj Abdul Halim Bashah, op.cit, hlm 35

 

[14]‘Kota Jiddah terletak tiga batu dari Bukit Panau, kota tersebut telah terbenam ke dalam bumi dan ditenggelami air, kini dikenali sebagai Danau Tok Uban (jajahan Pasir Mas), Kelantan. Kota Jiddah yang bermaksud 'Permata” menjadi ibukota baru bagi empayar Cermin selepas berpindah dari Kota Mahligai di Langkasuka (Patani) berikutan serangan Siam dari kerajaan Sukhotai.

 

[15]Melalui firasat Saiyid Thanauddin (Sang Adi Putra) yang menjadi guru kepada cucu saudaranya Sunan Bonang dan Sunan Giri (serta Laksamana Hang Tuah), kononnya Masjid Kampung Laut ada hubungan dengan kebangkitan Islam di Nusantara pada suatu masa nanti.

 

[16]Pada zaman dahulu kala, Bukit Panau merupakan aras tanda bagi kapal-kapal antarabangsa kerana bentuknya yang unik seperti piramid itu dapat dilihat dari laut ketika berada di perairan Laut China Selatan. Waktu itu Bukit Panau diakses melalui Sungai Kelantan yang berada di sebelahnya. Kapal-kapal mudah sahaja melalui Sungai Kelantan yang luas itu.

 

[17]Selain Puteri Linang Cahaya, Raja Bharubhasa mempunyai 3 lagi saudara perempuan, iaitu Puteri Chandana yang berkahwin dengan Sultan Malikuz-Zahir ibni Sultan Malikussaleh, dari Kesultanan Samudera-Pasai, Che Siti Wan Kembang yang memerintah Tanah Sri Indah Sekebun Bunga (selatan Kelantan) dan Raja Devi Durga yang memerintah Lamuri di Aceh.

 

[18]Abdul Halim Bashah, keratan akhbar, Menyingkap lembaran sejarah Kelantan -Pusat Perkembangan Dakwah Nusantara, Harakah, 16 April, 1993M. Rujuk juga manuskrip IKHAZI, Tim Penyusun, ‘Dari Sebuah Keluarga Untuk Umat (Latar Belakang Pendirian Ikatan Keluarga Azmatkhan al-Husaini Indonesia), Laman Web www.azmatkhanalhusaini.com

 

[19]Puteri inilah yang kemudian nanti bakal berkahwin dengan Sheikh Khalikul Idrus dan melahirkan Radin Muhamad Yunus. Raden Muhammad Yunus berputerakan Pati Unus, Sultan Demak Kedua (1518-1521M). Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Pada tahun 1521 Masihi, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Melaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus syahid dalam pertempuran ini dan dimakamkan di Pulau Besar.Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sebrang Lor kerana pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Melaka untuk melawan Portugis.

 

[20]Beliau mempunyai banyak nama lain seperti Ibrahim Asmarakandhi, Ibrahim al-Akbar, Ibrahim al-Hakim, Ibrahim al-Hadrami al-Fatani, Ibrahim al-Ghazi, Sayyid Ibrahim Zainul Akbar, Sunan Ngessik, Zainuddin Al-Akbar Ibrahim, Karimul Makhdum dan Syarif Aulia. Syeikh Ibrahim Asmoro mempunyai banyak nama kerana giat berdakwah di seluruh pelosok Nusantara termasuk di Champa, Patani, Tanah Jawa dan Selatan Filipina (Sulu dan Mindanao).

 

[21]Dalam tahun 1467 Masihi, kerajaan Siam telah berjaya menawan Empayar Chermin menyebabkan Sultan Baki Syah dan kaum keluarganya terpaksa berhijrah ke Champa yang merupakan kerajaan bersaudaranya.

 

[22]Bezakan Patih Aria Gajah Mada Majapahit-Kelantan ini dengan Patih Gajah Mada di Majapahit-Jawa. Kedua-dua Gajah Madah ini adalah orang yang berbeza dalam zaman yang berbeza di tempat yang berbeza. Patih Gajah Mada Majapahit-Jawa (meninggal sekitar tahun 1364M) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman empayar Majapahit yang berpusat di Jawa serta membantu mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaan, khusus dalam masa pemerintahan raja Majapahit yang bergelar Prabu Hayam Wuruk (1350-1389M). Pada hari ini kerajaan republik Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme serta persatuan Nusantara. Sedangkan Patih Aria Gajah Mada adalah nama gelar bagi Sayyid Ali Nurul Alam (lahir 1366M) yang berpusat di Patani. Beliau pernah berhijrah ke Champa untuk berdakwah di sana dan kemudian kembali ke Patani. Pernah menjadi Perdana Menteri bagi kerajaan Majapahit-Kelantan bergelar Sultan Qunbul.

 

[23]Menurut waris Sultanul Arifiin Syeikh Ismail (Pulau Besar, Melaka) yang bernama Pak Syeikh Mohamad Din, Maulana Ishaq adalah mertua Syeikh Ismail. Beliau mempunyai dua isteri iaitu Puteri Sekardadu (yang melahirkan 4 orang anak termasuk Sunan Giri) dan Puteri Cempaka Biru Siti Fatimah yang melahirkan 7 orang anak termasuk Syarifah Maimunah dan Syarifah Siti Sarah.

 

[24]Hj Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Champa & Dinasti Jembal dalam Patani Besar, hlm 70


Dipetik dari buku 'Ahlul-Bait (keluarga) Rasulullah SAW & Ulama-Umara di Alam Melayu'.